Qolbu yang di gedor untuk mencintai itu melahirkan kewajiban untuk mengikuti dan taat. Pengakuan iman saja mengatakan "aku cinta" saja, tanpa dibarengi dengan kewajiban memenuhi kehendak yang di cintainya,maka gugurlah iman dan cintanya itu, atau tidak sempurnalah iman dan cintanya tersebut.
Tanpa berpadu pada sunnah niscaya cinta yang kita pupk itu akan tumbuh dengan liar, yang kemudian bergerumbul menjadi hutan belukar yang menyesatkan diri kita sendiri. Cinta harus tumbuh, tetapi pertumbuhannya itu di bimbing oleh pengetahuan dengan jalan mengaktivitasi potensial akal! Lahirlah kewaspadaan yang kemudian harus menjadi bahan pertimbangan dan keputusan dari qolbu kita. Apabila qolbu sudah menegaskan (menghilangkan) pertimbangan atau informasi akal, maka terlampirlah cinta buta tersebut. Yaitu cinta yang terlepas dari waspada, terperangkap dalam kelalaian dan sikap nekad! Cinta di dalam qolbu itu harus tampil sebagai penjaga keseimbangan, sehingga terperiha sikap amarah.
Memeng benar bahwa cinta itu subyektif dan sulit dilukiskan secara utuh. Walaupun demikian tidaklah berarti mencampakan nilai objektif, kenyataan empiris. Karena fungsi "keseimbangan" itulah maka cinta harus tunduk pada aturan permainan yang sudah ditetapkan. Bagaimanapun cintanya seorang pemuda terhadap seorang wanita, tidaklah berati pemuda itu harus mentafsirkan cara atau aturannya sendiri. Justru karena pemuda itu ingin mencintai dan dicintai maka pemuda itu harus tahu aturan bercinta, harus menghargai aturan adat apakah yang di akui oleh sang kekasihnya.
Kalau tetap saja ngotot, bahwa cinta itu buta, lantas ingin merebut "hati" kekasihnya dengan cara sendiri, maka itulah yang disebut PEMERKOSAAN ! Konon pula ingin memenuhi kegandrungan atas cinta dan keinginan dicintainya.
Dengan mengetahui aturan permainan, maka kerahkanlah seluruh potensi yang kalian miliki untuk "kewajiban" memenuhi kerinduan qolbu memperoleh cintanya. Fenomena cinta itu adalah berkesinambungan, dinamis dan tidak mengenal arti "final". Bagai mana mungkin kita mengklaim bahwa cintamu sudah sampai pada puncaknya? Ingat nikmat yang dilimpahkan Alloh pada manusia tidak pernah akan mampu kita reguk keseluruhannya. Dengan memahami possibility yang kita miliki mengandung arti bahwa cinta dan penghargaan kita atas semua nikmat adalah dinamis, selalu menuju kepada yang "ingin lebih baik".
>dewan mubaligh indonesia